TYPOID
A. Latar Belakang
Demam typoid merupakan
salah satu penyakit sistemik. Penyakit ini tergolong penyakit menular yang
dapat menyerang banyak orang melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. Berdasarkan
laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2003 terdapat 17 juta kasus
demam typoid diseluruh dunia, dimana 600.000 diantaranya meninggal atau sekitar
3,15%. Menurut hasil Survey Kesehatan Nasional (Surkesnas) tahun 2001 demam
typoid menempati urutan ke 8 dari ke 10 penyakit penyebab kematian umum di
Indonesia sebesar 4,3%. Insiden dengan demam
typoid banyak terjadi pada anak yaitu pada klien berumur 12 tahun keatas adalah
70 – 80 % pasien berumur antara 12 – 30, dan 10 – 20% antara 30 – 40 tahun, 5 – 10 % diatas 40
tahun. Khususnya di Indonesia, umur penderita yang terkena demam typoid
dilaporkan antara 3 – 19 tahun mencapai 91 % kasus.
Berdasarkan catatan yang diperoleh dari medical record di
ruang dahlia pada enam (6) bulan terakhir terhitung mulai bulan Februari sampai
bulan Juli 2010 , jumlah pasien yang dirawat sebesar 667 jiwa dengan berbagai
penyakit. Angka kesakitan yang terbanyak pada sistem pencernaan adalah pasien
dengan diagnosa gastroenteritis berjumlah 129 jiwa (19,3%), urutan yang kedua
adalah diagnosa typoid 30 jiwa (4,5%), dan urutan ketiga adalah vomitus 29 jiwa
(4,3%).
Kondisi
klien dengan demam typoid dapat sembuh dengan cepat apabila melakukan pola
hidup yang baik seperti tirah baring dan diet secara bertahap (diit lunak) dan
menjalani pengobatan serta upaya pencegahan untuk menghindari kekambuhan
penyakit terse .
A. PENGERTIAN
Demam typoid adalah
penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi salmonella Thypi.
Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi oleh
feces dan urine dari orang yang terinfeksi kuman salmonella. (Brunner and
Sudart, 2000).
Typoid adalah suatu
penyakit pada usus yang menimbulkan gejala-gejala sistemik yang disebabkan oleh
salmonella typhosa, salmonella type A.B.C. Penularan terjadi secara fecal oral
melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi (Manjoer Arief.M, 2000).
Dari beberapa
pengertian diatas dapat disimpulkan typoid adalah suatu penyakit infeksi usus
halus yang disebabkan oleh salmonella type A, B dan C yang dapat menular
melalui oral, fecal, makanan dan minuman yang terkontaminasi
B.ETIOLOGI
Demam
typoid disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi. Salmonella thypi merupakan
bakteri gram negatif, berbentuk batang tidak berspora, berflagella (bergerak
dengan rambut getar) dan berkapsul. Terdapat dua sumber penularan salmonella
typhi yaitu pasien dengan demam typoid dan pasien dengan carier. Carier adalah
orang yang sembuh dari demam typoid dan masih terus mengekresi salmonella typhi
dalam tinja dan air kemih selama lebih dari 1 tahun.
C.
Patofisiologi
1.
Proses penyakit
Penularan salmonella thypi dapat
ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal dengan 5F yaitu Food (makanan),
Fingers (jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly (lalat) dan melalui Feses.
Feses dan muntah pada penderita
typoid dapat menularkan kuman salmonella thypi kepada orang lain. Kuman
tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat, dimana lalat akan hinggap di
makanan yang akan dikonsumsi oleh orang yang sehat. Apabila orang tersebut
kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang
tercemar kuman salmonella thypi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut.
Kemudian kuman masuk ke dalam lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan oleh
asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus bagian distal dan mencapai
jaringan limfoid. Di dalam jaringan limfoid ini kuman berkembang biak, lalu
masuk ke aliran darah dan mencapai sel-sel retikuloendotelial. Sel-sel
retikuloendotelial ini kemudian melepaskan kuman ke dalam sirkulasi darah dan
menimbulkan bakterimia, kuman selanjutnya masuk limpa, usus halus dan kandung
empedu.
Demam typoid disebabkan karena
salmonella thypi dan endotoksinnya yang merangsang sintesis dan pelepasan zat
pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang. Selanjutnya zat pirogen yang
beredar di darah mempengaruhi pusat termoregulasi di hipotalamus yang
mengakibatkan timbulnya gejala demam.
2.
Manifestasi klinis
Masa inkubasi 7-14 hari, inkubasi
pendek 3 hari dan terlama 60 hari.
a.
Minggu pertama
Demam, nyeri kepala, anoreksia,
mual, muntah, diare, konstipasi, bingung, lemah, lidah kotor, dilapisi selaput
putih sampai kecoklatan, batuk, perasaan
tidak enak diperut.
b.
Minggu kedua
Demam remiten, lidah kotor tertutup
selaput tebal, pembesaran hati dan limfa, perut kembung, disertai gangguan
kesadaran dari yang ringan sampai yang berat, apatis, bingung, kehilangan
kontak dengan lingkungan sekitarnya, tidak bisa tidur, kehilangan nafsu makan
dan minum, nyeri di kuadran bawah, distensi abdomen, konstipasi.
c.
Minggu ketiga
Disorientasi, bingung, insomnia,
lesu, tidak bersemangat, kelopak mata cekung, pucat, wajah tanpa ekspresi,
dilatasi pupil, mulut bibir kering, pernafasan cepat dan dangkal, distensi
abdomen, nodus player mengalami nekrotik ulserasi, timbul perdarahan dan perforasi,
buang air besar lembek, warna coklat tua dan kehijauan dan berbau. Pada
akhirnya minggu ketiga suhu mulai turun dan mencapai normal pada minggu
berikutnya.
3. Komplikasi
Komplikasi demam typoid dapat
terjadi pada :
a.
Usus halus
umumnya jarang
terjadi, akan tetapi sering fatal yaitu seperti perdarahan usus perforasi usus
dan peritonitis
b.
Komplikasi diluar usus
terjadi karena lokalisasi
peradangan akibat sepsis (bakteri) yaitu meningitis, kolesistitis, ensefalopati
dan bronkopneumonie. Dehidrasi dan asidosis dapat timbul akibat masukan cairan
yang kurang dan akibat suhu tubuh yang tinggi.
D. Penatalaksanaan
1.
Terapi
Pengobatan demam typoid terdiri
dari 3 bagian:
a.
Perawatan dan istirahat
Klien dengan demam typoid perlu
perawatan di rumah sakit , observasi dan
pengobatan. Penderita harus tirah baring sampai minimal 7 hari bebas demam atau
kurang lebih selama 14 hari, maksud tirah baring adalah untuk mencegah
komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus. Mobilisasi klien dilakukan
secara bertahap sesuai dengan pulihnya klien. Klien dengan kesadaran yang
menurun, posisi tubuhnya harus diubah-ubah pada waktu tertentu untuk
menghindari dekubitus.
b.
Diet
Pemberian makanan diberikan
bertahap mulai dari bubur saring, bubur kasar dan akhirnya nasi tim dengan lauk
pauk rendah selulosa (pantang sayur dengan serat kasar), cukup kalori dan
tinggi protein yang bertujuan untuk menghindari komplikasi. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa klien biasanya tidak menyukai diet bubur saring sehingga
makannya sedikit yang menyebabkan kekurangan gizi dan penyembuhan menjadi lama.
Pemberian nasi dan lauk pauk rendah selulosa dapat diberikan secara dini dengan
aman pada klien demam typoid.
c.
Obat-obatan
1)
Obat-obatan anti mikroba yang sering
digunakan
Chlorampenicol, thiampenicol,
cotrimoxazole, ampicilin, amoxicillin
2)
Obat-obatan asimptomatik
a)
Antipiretik
b)
Kortikosteroid
2.
Tes diagnostik
Pemeriksaan laboratorium meliputi
pemeriksaan hematologi, kimia darah, biakan darah dan uji widal . Pemeriksaan
ini ditujukan untuk membantu menegakkan diagnosis, menetapkan prognosis,
memantau perjalanan penyakit dan hasil pengobatan serta timbulnya penyakit.
a.
Hematologi
Kadar Hb dapat normal atau menurun
bila terjadi penyulit perdarahan usus atau perforasi, hitung leukosit sering
rendah atau leukopenia tetapi dapat pula normal atau tinggi. Jumlah trombosit
normal atau menurun (trombositopenia)
b.
Kimia klinik
Pemeriksaan SGOT / SGPT pada demam
typoid meningkat tetapi dapat kembali normal setelah sembuh dari typoid.
c.
Biakan darah
Bila biakan darah positif, hal itu
menandakan demam typoid, tetapi bila biakan darah negatif tidak menutup
kemungkinan akan terjadinya demam typoid. Hal ini dikarenakan hasil biakan
darah tergantung dari beberapa faktor seperti tekhnik pemeriksaan laboratorium,
saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit, vaksinasi dimasa lampau, dan
pengobatan dengan obat nati mikroba.
d. Uji widal
Uji widal adalah suatu reaksi
aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik
terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien dengan typoid juga
terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji
widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan di olah di
laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan adanya
aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita thypoid. Akibat infeksi
oleh salmonella thypi, klien membuat antibodi atau aglutinin. Dari ketiga
aglutinin (agglutinin O, H, Vi) hanya agglutinin O dan H yang ditentukan titernya
untuk diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula
kemungkinan diagnosis sebagai penderita demam typoid. Interpretasi hasil uji
widal sebagai berikut:
a)
Titer O yang tinggi (≥160) menunjukkan
adanya infeksi akut
b)
Titer H yang tinggi (≥160) menunjukkan
telah mendapat imunisasi atau pernah mendapat infeksi.
c)
Titer antibodi yang tinggi terhadap
antigen Vi terjadi pada carrier.
E. Konsep
Tumbuh Kembang Anak ( Usia 3 – 6 tahun)
1. Perkembangan fisik
Perkembangan biologis pada anak
prasekolah kenaikan berat badan 2 kg/tahun dimana menurut Behrman didapat
dengan 2 n + 8. Tinggi badan rata-rata kenaikan 6-8 cm /tahun. Gigi anak pada
anak usia prasekolah belum erupsi. Gigi susu terakhir pada usia 2 tahun.
2. Motorik kasar : diawali dengan kemampuan
untuk berdiri dengan satu kaki selama 1 – 5 detik, melompat dengan satu kaki,
berjalan dengan tumit ke jari kaki, menjelajah.
3. Motorik halus
: mulai memiliki kemampuan menggoyangkan jari-jari kaki, menggambar dua atau
tiga bagian, menggambar orang, mampu menjepit benda, makan dan minum sendri,
dan menggunakan sendok.
4. Bahasa : diawali mampu menyebutkan hingga
empat gambar, menyebutkan beberapa warna, menyebutkan kegunaan benda,
menghitung dan mengartikan kata, dan mengikuti berbagai bunyi kata.
5. Sosialisasi :
mampu bermain dengan permainan sederhana, menangis jika dimarahi, membuat
permintaan dengan gaya tubuh, menunjukkan peningkatan kecemasan terhadap
perpisahan dan mengenali angota keluarga.
F. Dampak
hospitalisasi anak usia prasekolah 3-6 tahun
Hospitalisasi
adalah suatu kondisi sakit yang harus dirawat di RS yang menimbulkan krisis
bagi anak.
Krisis hospitalisasi dapat disebabkan karena stress pada perubahan
status kesehatan dan kebiasaan
sehari-hari, serta keterbatasan mekanisme koping
untuk memecahkan kejadian stress. Stressor utama
terjadi pada dampak
hospitalisasi: perpisahan, kehilangan kontrol, trauma pada tubuh, nyeri dan
reaksi
perilaku anak
Pada usia ini
merupakan masalah yang besar bagi anak karena hospitalisasi dipengaruhi oleh:
usia perkembangan, pengalaman sakit yang lalu, perpisahan, support system dan
koping yang digunakan. Respon perilaku anak akibat hospitalisasi: Fase protes
(berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari) ditandai dengan anak menangis,
menjerit, memanggil orangtua, dan menolak perhatian orang lain. Fase putus asa
(dispair) berhenti menangis, tidak aktif, menarik diri, sedih, tidak mau
berkomunikasi, dan menolak beraktifitas. Fase menolak (menyesuaikan diri)
seperti rasa interest dengan lingkungan meningkat, mau berinteraksi dengan
orang lain yang tidak dikenal, anak tampak lebih gembira, anak menerima kondisi
sakit.
Reaksi orang tua terhadap hospitalisasi dan perasaan yang muncul
dalam hospitalisasi adalah takut dan cemas, perasaan sedih dan frustasi,
informasi buruk tentang diagnosa medis, perawatan yang tidak direncanakan,
perilaku tidak kooperatif, putus asa dan menolak tindakan keperawatan.
G. Pengkajian
keperawatan
Pengkajian
terhadap klien dengan gangguan sistem gastrointestinal meliputi pengumpulan
data analisa:
1.
Pengumpulan data meliputi
a.
Biodata klien
b.
Keluhan utama
c.
Riwayat kesehatan sekarang, dahulu dan
keluarga
2.
Pemeriksaan fisik
a.
Keadaan umum
Pada klien
keterbatasan aktivitas perlu dilihat meliputi penampilan postur tubuh dan kesadaran.
Karena klien biasanya akan mengalami kelemahan, kebersihan kurang, postur tubuh
kurus akibat adanya penurunan berat badan.
b.
Sistem pernafasan
Pada sistem ini
perlu dikaji adanya pergerakan cuping hidung waktu bernapas, kesimetrisan
gerakan dada pada saat bernapas, auskultasi bunyi paru, apakah bersih atau ada
ronkhi serta frekuensi napas.
c.
Sistem kardiovaskuler
Biasanya
pada pasien dengan typoid yang ditemukan tekanan darah yang meningkat akan
tetapi bisa didapatkan takikardi saat pasien mengalami peningkatan suhu tubuh.
d.
Sistem pencernaan
Pada sistem ini
yang perlu dikaji meliputi mulut, bibir, lidah, nafsu makan, observasi adanya
distensi abdomen, peristaltik usus dan buang air besar klien. Pada pasien typoid kadang-kadang diare atau konstipasi.
e. Sistem integumen
Turgor
kulit menurun atau tidak elastic, pucat, berkeringat banyak, akral hangat.
f. Sistem Urologi
Pada sistem ini
yang perlu dikaji adalah observasi dan palpasi pada daerah simpisis, ada atau
tidaknya nyeri tekan serta bagaimana pengeluaran urinnya seperti jumlah,
frekuensi dan warna urine.
3.
Pola aktifitas sehari-hari
Pola aktifitas
sehari-hari pada klien dengan demam typoid, frekuensi makan, jenis makanan,
kuantitas minuman dan eliminasi BAB serta personal hygiene.
4.
Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan
darah lengkap, pemeriksaan serologis untuk mengukur antibodi aglutinasi
terhadap antigen O dan H.
H. Diagnosa
keperawatan
1.
Hipertermi berhubungan dengan proses
infeksi salmonella thyposa
2.
Resiko tinggi ketidakseimbangan volume
cairan dan elektrolit berhubungan dengan hipertermi dan muntah
3.
Resiko tinggi pemenuhan nutrisi : kurang
dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat
4.
Ketidak mampuan memenuhi kebutuhan
sehari-hari berhubungan dengan kelemahan fisik
5.
Cemas pada anak berhubungan dengan
dampak hospitalisasi
6.
Kurang pengetahuan pada orang tua
berhubungan dengan penyakit
I. Perencanaan keperawatan
1. Hipertermia berhubungan
dengan proses infeksi salmonella thyposa
Tujuan
Suhu tubuh
kembali normal atau terkontrol
Kriteria
hasil
Suhu, nadi dan
pernapasan dalam batas normal
Rencana
tindakan
Observasi suhu
tubuh klien, anjurakn keluarga untuk membatasi aktivitas klien, beri kompres
dengan air hangat pada daerah axila, lipat paha, temporal bila terjadi panas,
anjurkan klien untuk memakai pakaian yang dapat menyerap keringat seperti
katun, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat anti piretik.
2. Resiko tinggi ketidakseimbangan volume cairan
dan elektrolit berhubungan dengan hipertermi dan muntah
Tujuan
Ketidak
seimbangan volume cairan tidak terjadi
Kriteria
hasil
Membran mukosa
bibir lembab, tanda-tanda vital (TD, S, N dan RR) dalam batas normal,
tanda-tanda dehidrasi tidak ada, balance cairan posistif, turgor kulit elastic,
pengisian kapiler < 3 detik, hematokrit dalam batas normal.
Rencana
tindakan
Kaji tanda-tanda
vital, kaji tanda-tanda dehidrasi seperti mukosa bibir kering, turgor kulit
tidak elastis dan peningkatan suhu tubuh, pantau intake dan output cairan dalam
24 jam, observasi produksi urine, catat laporan atau hal-hal seperti mual,
muntah, nyeri dan distensi lambung. Anjurkan klien minum banyak kira-kira
1200-1500 cc per hari, kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium (Ht, Na, Cl)
dan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian cairan tambahan melalui parenteral
sesuai indikasi.
3. Resiko tinggi pemenuhan nutrisi : kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekua
Tujuan
Pasien
mampu mempertahankan kebutuhan nutrisi adekuat.
Kriteria
hasil
Nafsu makan
bertambah, menunjukkan berat badan stabil atau ideal, nilai bising usus atau
peristaltik usus normal (6-12 kali per menit) nilai laboratorium normal (Hb),
dan membran mukosa bibir tidak pucat.
Rencana
tindakan
Kaji pola
nutrisi klien, kaji makanan yang disukai dan tidak disukai klien, anjurkan
tirah baring/pembatasan aktivitas selama fase akut, timbang berat badan tiap
hari. Lakukan oral hygine. Jelaskan pentingnya nutrisi yang adekuat dalam
penyembuhan Anjurkan keluarga untuk memberi makan klien sedikit tapi sering,
catat laporan atau hal-hal seperti mual, muntah, nyeri dan distensi lambung,
kolaborasi dengan ahli gizi untuk memberikan diet, kolaborasi dalam pemeriksaan
laboratorium seperti Hb. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat
antiemetic seperti (ranitidine)
4. Ketidak
mampuan memenuhi kebutuhan sehari-hari berhubungan dengan kelemahan fisik
Tujuan
Pasien
mampu melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari secara optimal
Kriteria
hasil
Mampu melakukan
aktivitas, bergerak dan menunjukkan peningkatan kekuatan otot
Rencana
tindakan
Kaji tahap
kemampuan aktivitas, bantu aktivitas klien sehari-hari, berikan terapi bermain
yang sesuai tumbuh kemabang pada anak. Latih mobilisasi bertahap setelah demam
hilang.
5. Cemas pada
anak berhubungan dengan dampak hospitalisasi
Tujuan
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan klien tampak tenang
Kriteria
hasil
Klien mau
tertawa dengan perawat dan mau berkomunikasi dengan perawat
Rencana
tindakan
Kaji tingkat
kecemasan klien, bina hubungan saling percaya dengan klien dan keluarga, kaji
faktor pencetus cemas, buat jadwal kontak dengan klien, cipatakan lingkungan
yang tenang dan menyenangkan, berikkan support ke anak dengan cara bicara,
sentuhan dan tindakan yang membuat anak tenang kaji hal yang disukai klien,
beri mainan sesuai kesukaan klien, libatkan keluarga dalam setiap tindakan,
anjurkan pada keluarga untuk selalu mendampingi klien, lakukan terapi bermain
sesuai dengan tingkat perkemabangan klien.
6.
Kurang pengetahuan pada orang tua
berhubungan dengan penyakit
Tujuan
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan pengetahuan keluarga meningkat
Kriteria
hasil
Menunjukkan
pemahaman tentang penyakitnya, melalui perubahan gaya hidup dan ikut serta
dalam pengobatan
Rencana
tindakan
Sejauh mana
tingkat pengetahuan klien tentang penyakit anaknya, beri pendidikan kesehatan
tentang penyakit dan perawatan klien, beri kesempatan keluarga untuk bertanya
bila ada yang belum dimengerti, beri
reinforcement positif jika klien menjawab dengan tepat, pilih berbagai strategi
belajar seperti teknik ceramah, Tanya
jawab dan demonstrasi dan tanyakan apa yang tidak diketahui klien, libatkan
keluarga dalam setiap tindakan yang dilakukan pada klien
J. Pelaksanaan Keperawatan
Menurut
Nursalam (2001), implementasi keperawatan adalah sebagai berikut:
1. Pengertian
Implementasi adalah inisiatif dari
rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik (lyer et al 1996). Tahap
pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan ditujukan pada nursing
orders untuk membantu pasien mencapai
tujuan yang diharapkan.
2.
Tahap tindakan keperawatan
Tahap 1 : persiapan
Persiapan meluputi
kegiatan-kegiatan :
a.
Review tindakan yang di identifikasi
pada tahap perencanaan
b.
Menganalisa pengetahuan dan keteramilan
keperawatan yang diperlukan
c.
Mengetahui komplikasi dari tindakan
keperawatan yang mungkin timbul
d.
Menentukan dan mempersiapkan peralatan
yang diperlukan
e.
Mempersiapkan lingkungan yang kondusif
sesuai dengan tindakan yang akan dilaksanakan
f.
Mengidentifikasi aspek hukum dan etik
terhadap resiko dari potensial tindakan
Tahap
2 : intervensi
Fokus tahap
pelaksanaan tindakan keperawatan adalah kegiatan pelaksanaan tindakan dari
perencanaan untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional. Pendekatan tindakan
keperawatan meliputi tindakan : independen, dependen, dan interdependen.
Tindakan keperawatan dibedakan berdasarkan kewenangan dan tanggung jawab
perawat secara profesional sebagaimana terdapat dalam standar praktek
keperawatan.
a.
Independen
Tindakan keperawatan independen
adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan oleh perawat tanpa petunjuk dan
perintah dari dokter atau tenaga kesehatan lainnya.
b. Dependen
Tindakan dependen berhubungan
dengan perencanaan tindakan medis. Tindakan tersebut menandakan suatu cara
dimana tindakan medis dilaksanakan.
c. Interdependent
Tindakan keperawatan menjelaskan
suatu kegiatan yang memerlukan suatu kerjasama dengan tenaga kesehatan lainnya,
misalnya tenaga sosial, ahli gizi, fisioterapi, dan dokter.
Tahap 3 : dokumentasi
Pelaksanaan tindakan keperawatan
harus diikuti oleh pencatatan yang lengkap dan akurat terhadap suatu kejadian
dalam proses keperawatan.
K.
Evaluasi Keperawatan
Nursalam (2001) mengemukakan bahwa
evalusai keperawatan adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses
keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana
tindakan dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai.
Tujuan evaluasi adalah untuk
melihat kemampuan pasien dalam mencapai tujuan.
Proses evaluasi :
1.
Mengukur pencapaian tujuan pasien yang
meliputi:
a.
Kognitif (pengetahuan)
Evalusi kognitif dapat diperoleh
dari interview atau tes tertulis
b.
Afektif (status emosional)
Meliputi observasi secara langsung,
feedback dari staf kesehatan yang
lain
c.
Psikomotor
Hal ini biasanya dilakukanm melalui
observasi secara langsung
d.
Perubahan fungsi tubuh dan gejala
Evaluasi pada komponen perubahan
fungsi tubuh mencakup beberapa aspek status kesehatan klien yang bisa
diobservasi
2.
Membandingkan data yang terkumpul dengan
tujuan dan pencapaian tujuan
Ada tiga kemungkinan keputusan pada
tahap ini:
a.
Pasien telah mencapai hasil yang
ditentukan dalam tujuan
b.
Pasien masih dalam proses mencapai hasil
yang ditentukan
c.
Pasien tidak mencapai hasil yang telah
ditentukan
Ada dua komponen untuk mengevaluasi
kualitas tindakan keperawatan yaitu :
a.
Proses (formatif)
Sistem penulisan pada tahap
evaluasi ini bisa menggunakan sistem SOAP atau model dokumentasi lainnya.
b.
Hasil (sumatif)
Fokus evaluasi hasil adalah
perubahan perilaku atau kesehatan klien pada akhir tindakan pasien, sumatif
evaluasi, obyektif, fleksibel, dan efisien.
3.
Komponen evaluasi
Komponen evaluasi dapat dibagi
menjadi lima komponen yaitu:
a. Menentukan
kriteria, standar, dan pertanyaan evaluasi
b. Mengumpulkan
data mengenai keadaan pasien yang terbaru
c. Menganalisa
dan membandingkan data terhadap kriteria dan standar
d. Merangkum
hasil dan membuat kesimpulan
e. Melaksanakan
tindakan yang sesuai berdasarkan kesimpulan.